Apa yang salah dengan perusahaan yang melayani project?
“Mas, ga capek proyekan terus?”
Beberapa orang seringkali menanyakan itu kepada saya. Bahkan beberapa karyawan GITS juga sering bertanya hal demikian. Biasanya akan dilanjutkan pertanyaan, “Kapan nih kita, GITS, punya produk sendiri?”
Kilas balik 10 tahun lalu, GITS sendiri terbentuk dari 5 orang mahasiswa yang beberapa kali “proyekan bareng” untuk cari tambahan dan supaya tidak memberatkan orang tua. Kebetulan sekampus, sejurusan, sekos-kosan.
Termotivasi tentang kewirausahaan oleh Pak Hari Lubis (Alm) — dosen jurusan Teknik Industri, dimana kami sempat mengikuti kuliah beliau — kami lalu memutuskan membuat perusahaan bersama. Menurut almarhum, wirausaha punya kesempatan lebih untuk memberi dan menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Klien dan proyek kami terus bertambah dan beragam. Dari awalnya kebanyakan proyek datang dari alumni ITB kemudian meluas ke beberapa industri melalui referensi.
Sampai sini bisa dibilang DNA kami adalah project company. Perusahaan Jasa.
Beberapa kali GITS mencoba mencari dan mendefinisikan kembali jati diri nya. Kami telah melewati puluhan proyek bersama. Mulai dari proyek perangkat multimedia interaktif, ERP sederhana, PPOB system, Web Commerce dan Digital Marketing kita libas. Tapi apa sebenarnya sih GITS ini? Kita mau apa dengan perusahaan ini?
Tahun 2011, melalui diskusi yang sangat alot, kami mendefinisikan GITS is all about mobile. Saat itu kita sudah punya beberapa aplikasi mobile. Revenue paling besar tetap dari custom project dari klien. Namun kami juga memulai membangun apps dan meraup sedikit revenue dari produk sendiri seperti Toresto, Jadwal Sholat, KoranDroid dll.
DNA nya juga mulai mengalami mutasi untuk membuat produk aplikasi.
Tapi mungkin memang penyakit newbie, atau karena latar belakang kami di GITS adalah engineer (yang lebih suka di depan laptop mengoptimasi kodingannya sendiri) sehingga saat membuat produk kami terlalu fokus pada teknis pengembangannya. Padahal pengembangan produk dan fitur itu baru satu aspek saja. Ada aspek lain yang perlu juga diperhitungkan dan dikembangkan, seperti siapa potensial user dan customernya, problem apa yang coba dipecahkan, promotion channelnya, bahkan hingga hak cipta, brand, kompetitor dan terutama keuangan.
Ketika produk dibangun tanpa memperhatikan aspek penggunanya, sekeren apapun desain aplikasinya sekuat apa pun perencanaan fitur dan teknikal nya, produk tersebut tidak akan dipakai oleh penggunanya. Sebuah produk harus bisa bernilai bagi penggunanya, menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah dan memudahkan pekerjaannya. Itu pun yang terjadi pada beberapa produk kami. Kami terlalu fokus dengan teknis pengembangan fiturnya dan lupa bahwa seharusnya kami berinteraksi lebih banyak dengan target pengguna kami. Yang menarik adalah ketika kami membuat apps “simpel” untuk keseharian kami sendiri, produk-produk tersebut dapat bertahan lebih lama (bahkan hingga sekarang). Because we solve our own real problem. Real problem that also happen to other people.
Saat itu sempat ada investor menawarkan dana fantastis ke salah satu produk kami dengan syarat kami harus berhenti melayani permintaan proyek dan menutup GITS. To fully become a product company. Kesempatan ini, walau sedikit menyesal (karena dananya bisa digunakan buat menikah lebih awal mestinya mwahaha), tidak kami ambil.
Tapi ada baiknya juga kami tidak serta-merta migrasi menjadi Product Company. Beberapa kompetitor kami di produk tersebut juga perlahan tapi pasti magud.
Kami memilih bootstrapping sambil mengerjakan proyek-proyek dari klien. Tidak fokus memang. Tapi selain memberikan runway yang lebih panjang, GITS juga belajar banyak dari klien dengan produknya. Kami menyaksikan dari dekat bagaimana klien kami seperti Gogobli.com, Tiket.com, atau Blanja.com secara iteratif memprioritaskan dan membangun produk yang sesuai kebutuhan penggunanya. Dark sidenya, kami juga menemukan pola pada beberapa klien kami yang lain menghasilkan produk yang salah. Sama seperti kisah produknya GITS di atas, dimana tanpa dukungan data (interview pengguna, analitik dll) yang cukup, klien terlalu fokus merencanakan detail dan menghabiskan waktu pada fitur yang sebenarnya tidak dibutuhkan pengguna. Istilah nya YAGNI “You Ain’t Gonna Need It”.
Pengalaman ini dikuatkan oleh Jim Collins dalam bukunya Built To Last yang saya baca beberapa waktu kemarin. Collins membahas mitos-mitos yang membuat sebuah perusahaan menjadi visioner. Perusahaan visioner dalam buku ini, adalah perusahaan yang telah melewati beberapa linimasa, mengalami beberapa regenerasi pemimpin, melalui evolusi produk dan pelanggan namun tetap menjadi bisnis yang menguntungkan seperti 3M, IBM, serta P&G.
Salah satu mitosnya adalah bahwa perusahaan visioner selalu memiliki ide yang hebat dan dimulai dengan perencanaan strategis yang mumpuni. Faktanya hanya sedikit dari perusahaan sukses yang diriset Collins dimulai dari ide dan perencanaan yang brilian. Kebanyakan yang berhasil menurutnya adalah yang terus bereksperimen, trial and error, dan oportunis terhadap kesempatan. Beberapa keberhasilan yang ditemukan bahkan terjadi karena “kecelakaan” yang tidak disengaja.
Perusahaan visioner adalah perusahaan yang lagi-lagi secara iteratif membuat dirinya menjadi mesin inovasi yang terus menerus menghasilkan produk yang berguna bagi customernya.
Lalu kalau sekarang punya ilmunya, kenapa tidak buat produk sendiri?
Bersambung dari buku yang sama, ada kalimat terus terngiang di kepala saya:
“The company itself is the ultimate creation”
“We had to shift from seeing the company as a vehicle for the products, to seeing the products as a vehicle for the company.”
Produk terbesar kita adalah GITS nya sendiri. Perusahaannya sendiri. Orang-orang di dalamnya serta sistem yang menggerakannya. Selama perusahaan bisa menyajikan sesuatu yang berguna bagi customernya, maka disitulah valuenya. Produk GITS saat ini adalah pengalaman kami, what works, what doesn’t work dari ratusan proyek sebelumnya yang secara perlahan dikumpulkan, didokumentasikan, dieksperimentasikan dan petakan polanya dengan tujuan membantu klien-klien kami selanjutnya. Kalau McKinsey punya McKinsey Way, Spotify dengan Spotify Model nya, GITS punya G-System (beruntungnya GITS juga jadi Google Certified Agency, beberapa metode product development juga diadopsi dari GV dan Google Design Sprint. Serba G haha).
Bukan berarti GITS berhenti membangun produk digital sendiri. Kami menemukan beberapa peluang baru ketika fokus melayani klien di spesifik area tertentu seperti Mobile untuk Smart Office, O2O Commerce dan Healthcare. Kami juga menemukan peluang lain saat kami bisa membuat tools yang bisa mempercepat proses pengembangan kami. Peluang-peluang ini yang kemudian bisa menjadi bibit untuk produk selanjutnya. Tentunya bibit produk tersebut perlu melalui proses validasi terhadap calon pengguna untuk memastikan bahwa produk yang kami hasilkan benar-benar solving real user problem. Tunggu tanggal mainnya saja. Hehe.
Motivasi membuat perusahaan atau produk yang salah adalah kalau hanya untuk sekedar bangga-banggaan punya produk karya anak bangsa, atau karena tergiur dengan cerita investasi produk sehingga bisa punya penghasilan belasan-puluhan juta Rupiah, karena ingin bisa pensiun dini, atau karena di produk tidak terlalu capek melayani komplain klien (customer).
Lagi-lagi sebuah perusahaan atau produk yang baik adalah yang mendeliver value kepada customernya: menyelesaikan masalahnya, meringankan pekerjaannya, atau meningkatkan hasil bisnisnya.
So, are we a product or project company?
It doesn’t matter, we are GITS, a company that has been live more than 10 years continuously trying to help people to achieve more on their business with Apps. [wkid/citcom]
Penulis : Ray Rizaldy (CEO GITS Indonesia)
(Sumber : wakool.id)